Tidak dapat dipungkiri, performa pariwisata di suatu negara dipengaruhi oleh banyak faktor eksternal yang berasal dari luar industri pariwisata itu sendiri. Dalam menghadapi faktor-faktor eksternal yang memengaruhi performa pariwisata, pemerintah bersama stakeholder pendukungnya harus melakukan pengembangan dan peningkatan kualitas destinasi wisata. Salah satunya adalah dengan menghitung risiko dan mempersiapkan bentuk mitigasinya.
Manajemen risiko dan pariwisata berkelanjutan adalah pendekatan yang tidak terpisahkan karena keduanya memiliki fungsi untuk menjaga keberlangsungan pariwisata dalam jangka panjang. Tujuan dari manajemen risiko destinasi wisata adalah untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan keselamatan wisatawan, operator, serta masyarakat setempat.
Dengan menerapkan manajemen risiko yang efektif di destinasi wisata, wisatawan dapat merasa aman dan nyaman saat bepergian. Hal ini sejalan dengan standarisasi dan sertifikasi kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan atau dikenal CHSE.
Faktor eksternal yang memengaruhi performa pariwisata
Dalam teorinya, Richard Butler (1978) menjelaskan bahwa setiap destinasi wisata memiliki fase yang dapat digambarkan dengan permodelan tourist area life cycle (TALC). Setidaknya, terdapat enam fase yang diperkenalkan oleh Butler, di antaranya adalah fase eksplorasi (exploration), keterlibatan (involvement), pengembangan (development), konsolidasi (consolidation), stagnan (stagnation), serta peremajaan (rejuvenation) dan penurunan (decline).
Meski dapat dijadikan panduan dalam melakukan asesmen destinasi wisata, jangan lupa bahwa “industri pariwisata juga dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal”, seperti:
1. Kondisi ekonomi global
Kondisi ekonomi global dapat memengaruhi performa destinasi wisata karena pariwisata merupakan industri yang sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat. Saat kondisi ekonomi global memburuk, masyarakat tentu saja tidak menempatkan aktivitas bepergian wisata sebagai prioritasnya.
2. Kondisi politik dan keamanan
Jika terjadi konflik atau kerusuhan di suatu negara atau wilayah, masyarakat akan mengurungkan niatnya melakukan bepergian. Misalnya saja saat tragedi bom Bali sebagai bentuk tindakan terorisme pada 2004. Dari sini kita bisa melihat berapa banyak negara yang melarang warga negaranya untuk melakukan bepergian ke Indonesia, khususnya Bali.
3. Teknologi dan inovasi
Teknologi dan inovasi mampu mengubah cara orang melakukan perjalanan dan berinteraksi dengan destinasi wisata. Misalnya, perkembangan teknologi melalui aplikasi pemandu lokal yang membuat wisatawan tidak lagi menggunakan jasa pemandu dari masyarakat. Ada juga aplikasi booking akomodasi homestay di desa wisata secara online yang membuat tingkat okupansi menjadi tidak merata. Kehadiran teknologi Metaverse yang membuat orang bisa berwisata dari rumah dengan bantuan kacamata virtual reality dan teknologi artificial intelligence.
4. Bencana kesehatan
Tidak dapat dipungkiri, adanya bencana kesehatan yang masuk ke suatu negara menyebabkan perubahan tren dan menurunkan performa pariwisata. Misalnya saja saat Covid-19, banyak industri di bidang pariwisata yang gulung tikar.
Covid-19 juga menuntut industri memiliki aturan yang ketat dalam berwisata, baik sebelum keberangkatan, selama di lokasi wisata, dan kepulangan. Kewajiban vaksinasi, pembatasan kunjungan, mengenakan masker, menjaga jarak, dan sertifikasi CHSE adalah beberapa contoh yang bisa kita lihat secara langsung.
5. Bencana alam
Bencana alam menjadi faktor yang sangat memengaruhi performa pariwisata di suatu daerah. Sebagai negara yang letak geografisnya berada di jalur Cincin Api Pasifik, Indonesia sering mengalami bencana alam. Belum lagi adanya pertemuan tiga lempeng tektonik besar dunia, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dan lainnya.
Sebut saja letusan Gunung Merapi pada 2010 yang menyebabkan sejumlah desa di sekitar kaki gunung terkena dampak letusan. Selain kawasan wisata Kaliurang, banyak desa wisata di Kecamatan Cangkringan yang terkena dampaknya. Ada juga gempa bumi Aceh pada 2004 yang menyebabkan tsunami dan menghantam wilayah pesisir Sumatera.
6. Perubahan iklim
Tanpa disadari, perubahan iklim dapat memengaruhi performa pariwisata karena mengganggu kondisi alam dan cuaca. Perubahan iklim yang ekstrem dapat menyebabkan bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, atau kebakaran hutan yang dapat merusak destinasi wisata.
Bentuk manajemen risiko di destinasi wisata
Dalam upaya menjaga keberlanjutan pariwisata, pemerintah bersama masyarakat dapat merencanakan manajemen risiko yang tepat dan sesuai dengan karakteristik destinasi. Salah satu praktik manajemen risiko yang wajib diaplikasikan pada destinasi wisata adalah melalui carrying capacity.
Carrying capacity merupakan kemampuan destinasi untuk menampung jumlah pengunjung dalam batas yang dapat diterima secara sosial dan ekologis. Konsep carrying capacity sangat penting untuk menjaga keberlanjutan pariwisata dan melindungi lingkungan, budaya, dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Carrying capacity dapat diukur secara fisik, salah satunya dengan mengatur jumlah pengunjung yang diperbolehkan masuk ke destinasi pariwisata. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur jumlah tiket masuk, membatasi waktu kunjungan, atau melarang aktivitas yang dapat merusak lingkungan atau budaya. Tujuannya adalah untuk melindungi aset alam dan budaya agar tidak cepat rusak. Di samping itu, penerapan carrying capacity yang tepat akan membuat pengalaman berwisata makin berkualitas.
Baca juga: Pentingnya Dokumen Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan (RIPPDA)
Di sisi lain, terdapat beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan manajemen risiko di destinasi wisata, seperti:
- Identifikasi risiko
Lakukan identifikasi potensi risiko dalam setiap tahap perjalanan wisatawan, mulai dari persiapan perjalanan hingga kembali ke rumah. Risiko yang perlu dipertimbangkan dapat mencakup gangguan kesehatan, keamanan, kecelakaan, bencana alam, termasuk potensi sampah yang dihasilkan dari aktivitas wisata. - Penilaian risiko
Setelah teridentifikasi, lakukan penilaian guna menentukan seberapa sering dan seberapa parah risiko tersebut dapat terjadi. Penilaian tersebut harus mempertimbangkan dampak pada wisatawan, operator wisata, dan masyarakat setempat. - Mengurangi dampak sosial
Tidak dapat dipungkiri bahwa wisata massal (mass tourism) dapat memengaruhi kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat. Untuk itu, manajemen risiko dapat membantu mengurangi dampak sosial tersebut dengan memastikan bahwa kepentingan masyarakat tetap diperhatikan. Selain itu, masyarakat harus dilibatkan dalam pengembangan dan pengelolaan destinasi wisata. - Pengendalian risiko
Pengendalian risiko dapat mencakup tindakan pencegahan, mitigasi, dan respon terhadap situasi darurat. Dalam penyusunan pengendalian risiko, pengelola di destinasi wisata perlu melibatkan berbagai pihak. Misalnya saja melibatkan tim SAR lokal, layanan fasilitas kesehatan terdekat seperti puskesmas, pemadam kebakaran, dan lainnya. Di samping itu, perlu adanya penanda di destinasi wisata terkait jalur evakuasi, sistem pengendalian dini, titik kumpul, dan lokasi-lokasi yang memiliki tingkat potensi bahaya tinggi. - Penataan ruang dan pengelolaan lingkungan
Pengelolaan lingkungan yang baik dan penataan ruang yang tepat dapat membantu mengurangi kerusakan destinasi wisata. Salah satunya adalah melalui carrying capacity yang sudah dijelaskan sebelumnya. Di samping itu, penataan dapat dilakukan dengan membangun infrastruktur yang tahan bencana, melakukan penghijauan, dan menjaga kebersihan lingkungan. - Mengoptimalkan potensi ekonomi
Tindakan seperti pengembangan strategi pemasaran yang tepat dan pengembangan rencana cadangan keuangan (dana darurat) perlu dipertimbangkan sebagai salah satu strategi manajemen risiko. Hal ini ditujukan untuk mengatasi kemungkinan penurunan performa ataupun permintaan di masa depan. - Pelatihan dan pendidikan
Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, operator bersama masyarakat setempat perlu mendapatkan pelatihan dan pendidikan mengenai manajemen risiko di pariwisata.
Dengan menyusun manajemen risiko di destinasi wisata, pariwisata dapat diprediksi lebih berkelanjutan sehingga mampu memberikan dampak positif bagi ekonomi, lingkungan, dan masyarakat setempat.