Pariwisata menjadi salah satu sektor ekonomi yang cukup mendapat perhatian di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga gencar meningkatkan kualitas dari enam destinasi pariwisata prioritas (DPP). Misalnya saja di Danau Toba, Borobudur–Yogyakarta–Prambanan, Lombok, Labuan Bajo, Bromo–Tengger–Semeru, dan Wakatobi.
Bahkan, pemerintah juga melaksanakan Program Pembangunan Pariwisata Terintegrasi dan Berkelanjutan (P3TB) yang melibatkan beberapa kementerian, seperti Kementerian PUPR, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
P3TB sendiri dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas serta akses terhadap pelayanan dan infrastruktur dasar yang berkaitan dengan pariwisata, salah satunya di desa wisata. Merujuk data Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun 2022, tercatat ada sebanyak 3.416 desa wisata di 34 provinsi. Tak heran, pemerintah cukup menaruh perhatian serius terhadap pengembangan desa wisata. Apa alasannya?
Selain sebagai bentuk diversifikasi destinasi wisata, pengembangan desa wisata ditujukan untuk menciptakan peluang ekonomi dan pengembangan infrastruktur pada daerah yang belum terjamah. Dengan begitu, hadirnya desa wisata diharapkan dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah.
Di sisi lain, pengembangan desa wisata dipercaya dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal. Aktivitas pariwisata di desa juga berpeluang untuk memberi nilai tambah, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengurangi tingkat kemiskinan.
Pengertian desa wisata
Sebelum kami membahas lebih jauh mengenai permasalahan pengembangan desa wisata, kami akan mengulas tentang apa yang dimaksud desa wisata?
Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, Wiendu, 1993:2)
Sementara Inskeep (1991) menjelaskan bahwa desa wisata adalah bentuk pariwisata di mana sekelompok kecil wisatawan tinggal di dalam atau di dekat kehidupan tradisional atau di desa-desa terpencil dan mempelajari kehidupan desa dan lingkungan setempat.
Dari dua penjelasan di atas, mungkin Anda bertanya-tanya, kenapa konsep tersebut disebut sebagai desa wisata?
Dalam praktiknya, sebuah desa dapat disebut sebagai desa wisata apabila di dalam pengelolaannya terdapat integrasi antara atraksi (paket wisata) dan akomodasi (homestay). Di samping itu, terdapat pemaknaan bahwa pengembangan desa wisata bukan hanya sebagai sarana rekreasi. Melainkan juga untuk kegiatan edukasi dalam bentuk mempelajari kehidupan masyarakat/lingkungan setempat.
Konsep desa wisata juga memperhatikan praktik penyelenggaraan pelibatan/pemberdayaan masyarakat dan pembangunan sumber daya manusia. Dalam teori pariwisata, konsep ini dikenal dengan istilah community based tourism atau pariwisata berbasis masyarakat.
Community based tourism merupakan sebuah konsep pengembangan suatu destinasi wisata melalui pemberdayaan masyarakat lokal di mana mereka turut andil dalam perencanaan, pengelolaan, dan penyampaian pendapat (Goodwin dan Santili, 2009).
Sedangkan Suansri (2003), menyebutkan bahwa community based tourism (CBT) adalah pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlajutan lingkungan, sosial, dan budaya. Dengan begitu, CBT menjadi salah satu pendekatan pembangunan pariwisata berkelanjutan.
Tantangan pengembangan desa wisata di Indonesia
Lebih dari lima tahun penulis berkecimpung dalam aktivitas pengembangan desa wisata, baik dalam program pendampingan maupun riset. Dalam perjalanan tersebut, setidaknya terdapat beberapa isu strategis dan tantangan pengembangan desa wisata yang berhasil dipetakan, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Disharmoni kelembagaan dan kurangnya dukungan pemerintah
Dalam kacamata kami sebagai konsultan pariwisata, disharmoni kelembagaan dapat ditunjukan dengan adanya perbedaan visi misi antarkelompok. Selain itu, kendala lain yang umum dijumpai adalah kurangnya koordinasi/komunikasi antarlembaga. Akibatnya, pengelola atau komunitas rentan mendapat konflik dan kesulitan dalam mengambil keputusan.
Disharmoni kelembagaan juga dapat dilihat dari adanya ketidakseimbangan kekuasaan. Jika salah satu lembaga memiliki kontrol yang dominan tanpa melibatkan pihak lain, kondisi ini dapat menyebabkan ketidakpuasan dan berpotensi menjadi konflik.
2. Minim inovasi
Desa wisata yang saat ini berada dalam klasifikasi level mandiri tentu sudah berproses cukup lama. Proses tersebut tentunya juga menghadirkan inovasi-inovasi baru sehingga membuat eksistensinya tidak tenggelam. Dengan begitu, melakukan inovasi sangatlah penting untuk menghadapi persaingan dan memenuhi kebutuhan/tren.
Permasalahan klasik yang sering dijumpai pada desa wisata yang minim inovasi adalah tidak adanya kesadaran dalam mengembangkan potensinya. Inovasi juga sulit muncul lantaran masyarakat lebih menyukai cara-cara tradisional dalam mengelola desa wisata.
Di sisi lain, semangat berinovasi dapat menjadi kempis karena adanya ketidakstabilan kebijakan dan kurangnya dukungan pemerintah. Jika kebijakan pengembangan desa wisata tidak konsisten, tentu akan membingungkan dan menghalangi upaya inovasi dari masyarakat.
3. Sulitnya menemukan local champion
Jika mau belajar dari kisah desa wisata yang sukses, desa wisata bisa eksis karena peran besar local champion. Sebut saja Desa Wisata Pentingsari yang dibesarkan oleh mendiang Doto Yogantoro, Desa Wisata Pujon Kidul dengan sosok kepala desa sukses; Udi Hartoko, dan Desa Wisata Nglanggeran yang dipelopori oleh anak-anak muda, termasuk Sugeng Handoko.
Sosok local champion sangatlah dibutuhkan untuk memobilisasi sumber daya manusia, menginspirasi, dan memotivasi masyarakat lokal. Meski bukan berangkat dari profesi ahli pariwisata, mereka terbukti memiliki dedikasi yang tinggi untuk terus konsisten mengembangkan desa wisata.
4. Hanya mampu menangkap, belum bisa menahan lama tinggal wisatawan
Dalam praktiknya, pada akhirnya desa wisata cukup puas berjualan tiket masuk daya tarik wisata saja. Persoalan inilah yang membuat pemaknaan desa wisata bergeser menjadi wisata desa. Mengapa demikian?
Kurangnya variasi daya tarik dan kegiatan di desa wisata tentu saja dapat membuat wisatawan merasa kurang tertarik untuk tinggal lebih lama. Untuk itu, kunci untuk menahan lama tinggal wisatawan tentu saja dengan menawarkan paket wisata yang lebih beragam. Di samping itu, diperlukan adanya akomodasi berupa homestay yang dapat menahan lama tinggal wisatawan sehingga tidak perlu menginap di luar.
5. Kolaborasi terbatas dan minimnya perencanaan yang matang
Di lapangan, kami sering menjumpai desa wisata yang hanya mengandalkan bantuan/kontribusi dari pemerintah, dalam hal ini Dinas Pariwisata. Padahal, sejatinya pemerintah memiliki keterbatasan, baik dalam permodalan maupun bantuan program lainnya. Hal inilah yang membuat desa wisata menjadi jalan di tempat.
Dalam pariwisata, kita mengenal kolaborasi pentaheliks, yakni masyarakat, pemerintah, swasta, perguruan tinggi/akademisi, dan media. Di era ini, banyak kesempatan kolaborasi antara perguruan tinggi dengan desa melalui program pengabdian masyarakat ataupun riset. Bahkan, pihak swasta lewat dana CSR-nya (tanggung jawab sosial perusahaan) siap disalurkan. Permasalahannya, banyak desa wisata yang belum memiliki konsep dan perencanaan yang matang.
Minimnya perencanaan akan mengakibatkan pencapaian yang tidak maksimal sehingga tidak mengalami perkembangan, bahkan eksistensinya dapat memudar. Untuk mengatasi dua permasalahan tersebut, pengelola perlu membuat rencana aksi yang merangkum kebutuhan dari aspek destinasi, kelembagaan, industri, dan pemasaran. Rencana aksi harus mencakup tujuan jangka pendek-menengah-panjang, tindakan prioritas, alokasi sumber daya, dan pemetaan kemitraan.
6. Minim storytelling atau kemampuan bercerita
Tantangan pengembangan desa wisata selanjutnya adalah minimnya storytelling atau kemampuan bercerita. Storytelling atau cerita memiliki peran penting dalam mempromosikan, mengembangkan desa wisata, dan membangun identitas desa wisata. Melalui storytelling yang baik, desa wisata dapat mengkomunikasikan identitas, sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang bermakna kepada wisatawan. Dengan begitu, wisatawan akan ikut terlibat serta memiliki pengalaman yang berkesan.
Perlu dipahami, storytelling bukan hanya sebatas sejarah ataupun narasi yang diwariskan dari nenek moyang. Pengelola bersama masyarakat dapat melakukan identifikasi cerita-cerita yang unik dan relevan dengan atraksi yang ditawarkan desa wisata. Cerita tersebut dapat meliputi legenda lokal, tradisi budaya, tokoh-tokoh bersejarah, kearifan lokal, atau kisah sukses dari masyarakat desa.
Kemasan storytelling yang baik juga dapat meningkatkan lama tinggal wisatawan. Dengan begitu, atraksi tidak akan terkesan membosankan sehingga menciptakan pengalaman yang berarti dan memikat bagi wisatawan.
Baca juga: Storytelling: Membangun Koneksi Emosional di Destinasi Wisata
7. Rentan duplikasi
Tidak dapat dipungkiri, kisah sukses desa wisata dapat menginspirasi desa-desa lain untuk melakukan hal serupa. Namun, fatalnya banyak desa yang cenderung melakukan duplikasi konsep ataupun atraksi sehingga terkesan tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat ataupun lingkungannya.
Misalnya saja, sebuah desa wisata menjadi viral lantaran menjadi perbincangan di media sosial karena berhasil mengembangkan objek swafoto berupa instalasi seni di sawah. Ada juga desa yang sukses meraup miliaran karena berhasil mengembangkan kolam renang. Kondisi ini kemudian diduplikasi oleh desa tetangga dengan membuat objek atau atraksi yang sama.
Nah, duplikasi atraksi mungkin saja mengakibatkan hilangnya keunikan dan daya tarik sebuah desa wisata. Hal ini tentunya dapat mengurangi minat dan motivasi wisatawan untuk mengunjungi desa wisata. Belum lagi jika secara geografis beberapa desa wisata dengan konsep yang sama berada di wilayah yang berdekatan. Tidak menutup kemungkinan, akan timbul persaingan yang tidak sehat.
8. Minimnya keterlibatan komunitas lokal
Menggandeng masyarakat lokal dalam pengembangan dan pengelolaan desa wisata adalah kunci keberlanjutan. Pemberdayaan ekonomi lokal dan pelestarian budaya dapat tercapai melalui partisipasi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat lokal adalah pewaris pengetahuan lokal, tradisi, dan kearifan lokal. Dengan melibatkan masyarakat lokal, desa wisata dapat memastikan bahwa budaya mereka dihormati dan dilestarikan.
Keterlibatan masyarakat lokal juga menciptakan nilai tambah. Ketika masyarakat setempat terlibat dalam usaha pariwisata, mereka dapat memeroleh pendapatan dari layanan, penjualan produk lokal, atau bahkan melalui jasa akomodasi homestay. Dengan begitu, pengembangan desa wisata dapat meningkatkan taraf hidup komunitas lokal.
9. Minimnya pemahaman terkait manajemen risiko dan pelestarian lingkungan
Peningkatan jumlah wisatawan dapat berdampak negatif pada lingkungan di desa wisata jika tidak dikelola dengan bijak. Hal ini juga termasuk pengelolaan limbah, konservasi alam, dan pemeliharaan keanekaragaman hayati.
Di sisi lain, peningkatan aktivitas manusia seperti pembangunan infrastruktur dapat mengubah ekosistem alami dan merusak habitat lokal. Menjaga dan melestarikan area-area penting dan penerapan prinsip-prinsip desain ramah lingkungan dapat membantu mengurangi dampak negatif dari pariwisata. Untuk itu, pemantauan dan pengelolaan sumber daya alam perlu diintegrasikan dalam perencanaan pengembangan desa wisata.
Meski banyak tantangan dalam pengembangan desa wisata, kami percaya bahwa setiap desa memiliki keunikan dan nilai-nilai lokal yang beragam. Untuk bisa eksis dan diminati pasar, desa wisata harus mengidentifikasi keunikan tersebut dan mempromosikannya secara kontinu. Di samping itu, masyarakat perlu memastikan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan, termasuk dalam pengaturan standar kualitas dan konservasi terhadap lingkungan.
Referensi:
- Godwin, Harold dan Santili, Rosa. 2009. Community Based Tourism: A Success?. ICRT Occasional Paper 1.
- Inskeep, E. 1991. Tourism Planning, and Integrated and Sustainable Development Approach. New York: Van Nostrand Reinhold.
- Nuryanti, W. 1993. Concept, Perspective and Challenges. Makalah bagian dari Laporan Koferensi Internasional mengenai Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Suansri, Pontjana. 2003. Community Based Tourism Hand Book. Rest Project World Tourism Organization.