Dalam beberapa tahun ini, kita sering mendengar jumlah desa wisata tumbuh dengan pesat. Sayangnya, banyak desa wisata yang dirintis dan dibangun tanpa keberlanjutan yang kokoh. Keberlanjutan bukan hanya tentang jumlah kunjungan atau keuntungan bisnis (ekonomi). Melainkan juga tentang pelestarian budaya dan lingkungan untuk generasi mendatang.
Di sisi lain, sering kita melihat banyak desa wisata yang dibangun melalui pendekatan top-down sehingga dampaknya terkadang tidak sesuai dengan harapan. Desa wisata yang dibangun secara top-down cenderung memiliki model pengelolaan yang sentralistik, di mana kebijakan dan pengambilan keputusan diatur dari atas. Hal inilah yang kemudian dapat mengurangi kreativitas dan tanggung jawab lokal.
Untuk memastikan keberlanjutan desa wisata, perlu adanya pendekatan yang lebih inklusif dengan memperkuat partisipasi masyarakat melalui pemberdayaan. Pemberdayaan masyarakat adalah investasi jangka panjang yang nantinya dapat memberikan manfaat lebih besar dibanding keuntungan ekonomi. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan Community-Based Tourism atau CBT.
Dalam community-based tourism, masyarakat tidak hanya dianggap sebagai penerima manfaat, tetapi juga berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengambil keputusan dalam pembangunan. Pendekatan ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat dengan memberikan kontrol lebih besar atas inisiatif pengembangan wisata di wilayah mereka.
Lantas, bagaimana cara memaksimalkan konsep CBT di desa wisata?
Participatory Rural Appraisal (PRA) dianggap sebagai metode yang cukup efektif dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya konteks community-based tourism (CBT) atau pariwisata berbasis masyarakat.
Apa itu metode PRA dalam pemberdayaan masyarakat?
Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah pendekatan partisipatif yang menempatkan masyarakat sebagai mitra aktif dalam proses pengumpulan informasi, perencanaan, dan pengambilan keputusan terkait pembangunan di lingkungan perdesaan. Fokus utama metode PRA adalah memahami kebutuhan dan aspirasi masyarakat melalui kolaborasi, dialog, dan keterlibatan aktif.
Adimihardja & Hikmat (2003), menjabarkan bahwa terdapat tiga prinsip penerapan PRA, yaitu:
- Masyarakat dipandang sebagai subjek, bukan objek.
- Seorang peneliti memposisikan dirinya sebagai insider (orang dalam), bukan outsider (orang luar).
- Pemberdayaan dan partisipatif masyarakat dalam menentukan indikator sosial (indikator evaluasi partisipatif).
Berikut adalah beberapa alasan mengapa pemberdayaan komunitas di desa wisata lebih efektif menggunakan metode PRA.
- Pemahaman mendalam mengenai masyarakat
PRA memungkinkan kita mengetahui struktur sosial, nilai-nilai budaya, dan pola interaksi yang ada di masyarakat lokal dan desa. - Identifikasi potensi dan sumber daya lokal
Melalui teknik pemetaan partisipatif, kita dapat mengidentifikasi potensi lokal, budaya, dan kekayaan alam yang dapat diintegrasikan ke dalam pengembangan desa wisata. - Pemetaan tokoh kunci (local champion)
Dengan menggunakan PRA, kita dapat memetakan tokoh kunci atau local champion dalam pengembangan desa wisata. Local champion adalah individu atau kelompok masyarakat setempat yang memiliki pengaruh positif, keterampilan, pengetahuan, dan keinginan untuk berperan aktif dalam pengembangan desa. - Pengetahuan lokal yang mendalam
PRA membantu kita menggali pengetahuan lokal dan kearifan tradisional yang mungkin terabaikan dalam pendekatan pengembangan konvensional. Pengetahuan lokal tersebut dapat menjadi dasar untuk merancang pengalaman wisata yang autentik dan relevan sesuai dengan karakter desa ataupun masyarakatnya. - Pemahaman dampak sosial dan budaya
PRA juga membantu kita dalam memahami dampak sosial dan budaya yang mungkin timbul dari pengembangan di desa wisata. Hal ini akan menjadi pertimbangan setiap konsultan pariwisata dalam membuat perencanaan yang lebih bijaksana untuk meminimalkan dampak negatif. - Pemetaan potensi konflik
Melalui pendekatan partisipatif, PRA dapat membantu mengidentifikasi potensi konflik atau dampak negatif yang mungkin timbul dari pengembangan desa wisata. Dengan begitu, kita dapat melakukan manajemen konflik lebih awal. - Perencanaan yang berbasis pada kebutuhan
Dengan metode PRA, perencanaan pengembagan desa wisata menjadi lebih berbasis pada kebutuhan dan aspirasi lokal. - Peningkatan kapasitas lokal
PRA tidak hanya digunakan untuk menghasilkan proyek pengembangan, tetapi juga meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melakukan perencanaan di desa wisata. Melalui partisipasi aktif, masyarakat dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang mendukung pengelolaan dan pemberdayaan diri mereka sendiri. - Keberlanjutan pariwisata berbasis masyarakat
PRA dapat menjadi fondasi untuk pengembangan pariwisata berbasis masyarakat yang berkelanjutan. Dengan memahami kebutuhan dan aspirasi masyarakat, proyek dapat dirancang agar memberikan manfaat jangka panjang.
Alasan-alasan di atas mengundang kita untuk merenung tentang kebenaran, bahwa teori dalam perguruan tinggi tidak selalu cukup dalam merancang dan melaksanakan proyek pengembangan di desa. Walaupun memiliki gelar dan pengetahuan akademis yang tinggi, seringkali kita menemui ketidaksesuaian antara solusi yang diusulkan oleh ilmu pengetahuan dengan kebutuhan dan harapan masyarakat setempat.
Renungan di atas juga menggarisbawahi bahwa kesuksesan pengembangan desa wisata tidak hanya bergantung pada ketersediaan gelar akademis, tetapi juga pada kemampuan untuk mendengarkan dan belajar dari masyarakat. Inilah yang membuat keseimbangan antara ilmu dan kearifan lokal menjadi kunci untuk mencapai pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Baca juga: Tantangan Pengembangan Desa Wisata di Indonesia
Langkah penyusunan rencana pengembangan di desa wisata menggunakan metode PRA
Berdasarkan pengalaman kami di lapangan, beberapa metode ini terbukti efektif digunakan untuk merancang dan melaksanakan proyek-proyek pembangunan yang berorientasi pada partisipasi masyarakat.
- Pemetaan partisipatif
Umumnya, kita dapat melibatkan masyarakat dalam mengidentifikasi potensi dan tantangan yang dialami oleh masyarakat ataupun desa. Peta yang dibuat bersama masyarakat dapat menjadi alat komunikasi visual yang kuat untuk merencanakan pengembangan desa wisata berbasis kearifan dan sumber daya lokal. - Analisis pohon masalah
Metode ini biasanya dikenal dengan istilah “pohon masalah” karena masyarakat bersama-sama mengidentifikasi persoalan/akar masalah. Setelahnya, masyarakat akan bersama-sama mencari solusi yang didasarkan pada pengetahuan, budaya, sumber daya, dan lainnya. - Wawancara partisipatif
Seperti wawancara yang dilakukan pada umumnya. Wawancara partisipatif melibatkan masyarakat dalam proses pengumpulan data sehingga memungkinkan mereka untuk berbicara tentang pengalaman dan pengetahuan mereka. Hasil dari wawancara partisipatif dapat memberikan perspektif mendalam tentang kebutuhan dan aspirasi masyarakat. - Diskusi kelompok terfokus atau FGD
Diskusi kelompok terfokus biasanya melibatkan kelompok-kelompok kecil yang menitikberatkan untuk menggali pandangan, ide, dan pengalaman terkait dengan topik tertentu. - Pemetaan aset dan sumber daya
Pemetaan aset dan sumber daya desa yang melibatkan masyarakat ditujukan untuk mengidentifikasi kekayaan lokal yang dapat dikembangkan menjadi atraksi. Hal ini mencakup sumber daya alam (termasuk flora dan fauna), budaya, manusia, dan kalender musim. - Simulasi permainan peran
Untuk membuat kegiatan terlihat lebih interaktif dan edukatif, kita bisa melibatkan masyarakat dalam permainan peran atau simulasi. Kegiatan ini dapat membantu masyarakat dalam memahami dampak keputusan dan membangun perencanaan. - Pemetaan rantai nilai
Pemetaan rantai nilai dapat membantu kita dan masyarakat di desa dalam memahami bagaimana kegiatan-kegiatan wisata dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan potensi ekonomi desa. - Menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL)
Bersama dengan masyarakat, kita bisa merumuskan RTL atau rencana tindak lanjut. Penyusunan RTL menjadi salah satu langkah penting dalam program pemberdayaan masyarakat. Umumnya, RTL berisi langkah-langkah konkret untuk pengembangan desa yang dihasilkan dari analisis dan partisipasi masyarakat. Selain itu, RTL dibuat untuk memetakan mitra-mitra potensial yang akan dilibatkan dalam setiap kegiatan.
Keberhasilan PRA tercermin dalam bagaimana kita mampu merangkul kearifan lokal sebagai landasan pengembangan di desa wisata. Melalui dialog dan kolaborasi, metode ini dapat membangun jembatan antara pengetahuan lokal dan ide-ide inovatif yang mendukung pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.
Pentingnya kearifan lokal bukan sekadar syarat dalam membuat desa wisata yang autentik, tetapi fondasi pembangunan yang relevan dan seimbang. Dengan begitu, kita bisa menghasilkan proyek-proyek yang memupuk identitas kultural, menghargai lingkungan, dan memberikan nilai tambah pada setiap potensi yang ada di desa.
*Keterangan: Tulisan berdasarkan pengalaman pribadi dalam melakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat melalui organisasi Desa Wisata Institute.
Referensi:
Adimihardja, Kusnaka & Hikmat, Harry, (2003). Participatory Research Appraisal: Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat. Penerbit Humaniora Bandung.